Esai

SKTM, Buang Sampah dan Bahan Penelitian

0
Sore itu istri saya memberi kabar jika keponakannya yang lulus SMP ternyata tidak bisa masuk SMA Negeri karena soal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Kabar ini tentu membuat kami sebagai keluarga, merasa kecewa karena ada orang yang mampu secara ekonomi menggunakan surat ‘sakti’ itu demi memuluskan anaknya dapat masuk ke dalam sekolah tujuan. Karena sekolah jelas akan menerima anak yang membawa surat ‘sakti’ itu. Akhirnya keponakan istri saya pun terlibas dari daftar siswa yang diterima sekolah Negeri idamannya.
Untung waktu masa remaja saya, sistem penerimaan siswa baru tidak seperti saat ini jadi bebas mau milih sekolah swasta atau sekolah negeri. Karena, bagi orang tua, sekolah swasta lebih dipilih sehingga anak anaknya harus masuk sekolah swasta yang berkualitas. Tentu sekolah swasta yang berbasis agama islam karena tradisi keluarga. Jadi bisa dipastikan kakak-kakak dan adik-adik kami adalah lulusan SD, SMP hingga SMA swasta berbasis Islam.
Sekolah bagi kami adalah upaya berbakti kepada kedua orang tua. Karena, urusan tradisi ini jelas mengharuskan kami untuk menyekolahkan anak-anak kita yang juga cucunya, sekolah di sekolah swasta berbasis Islam tersebut. Soal berbakti ini jelas aku siasati dengan mencari sekolah yang jelas unggul. Satu sisi ingin memberikan pendidikan yang sesuai dengan jaman dan berkualitas bagus dan satu sisi berbakti kepada kedua orang tua. Ya, ongkosnya jelas melambung dibanding sekolah negeri. Namun menggabungkan prosesi berbakti dan memberikan pendidikan yang baik kepada anak jadi pilihan saya. Paman saya bilang rejeki sudah ada yang ngatur (Tuhan) untuk biaya pendidikan anak. Anggapan ini jelas harus dibayar dengan kepercayaan diri yang tinggi  untuk menjalankan misinya. Karena jika tidak percaya diri dengan anggapan paman saya, rejeki itu seolah akan tersendat. Ya, selama ini memang benar, saya selalu dapat memenuhi kebutuhan pembayaran sekolah anak saya. Tetep, ngutang ngutang dikit juga kerap terjadi.
Kembali ke SKTM, dalam hati dan harapan terbesar saya, keponakan istri saya semoga tidak tahu jika ia tidak bisa masuk sekolah karena ada oknum orang mampu namun memilih menggunakan surat sakti itu. Kalo sampai dia tahu, saya takut nilai kejujuran yang sudah ditanamkan di keluarga kita akan hilang dari kehidupannya. Walaupun kabarnya keponakan ini mulai tidak mau makan dan murung di kamar karena tidak diterima dari sekolah idamannya, harapanku dia tahunya karena memang nilainya atau karena hal lain yang bukan karena oknum SKTM ini. Ketakutan ini bagi kami sangat mendasar, karena kami selalu mengajarkan hal mendasar itu diterapkan di kehidupan sehari-hari. Seperti membuang sampah. Memang sepele, hanya membuang sampah pada tempatnya. Tapi bagi kami itu prinsip. Setidaknya kami tidak akan membuang sampah melalui jendela mobil dan mantap membuangnya di jalanan. Tidak!. Sampah itu kami simpan sampai kami menemukan tempat sampah. Mungkin jika semua orang melakukan ini tidak ada lagi aksi buang sampah sembarangan di sungai, dari mobil kendaraan atau dimanapun.
Nilai dasar membuang sampah sama sebenarnya dengan nilai dasar untuk selalu berlaku jujur. Jika tidak jujur maka akan membahayakan tubuh. Lebay. Mungkin. Menurutku jika tidak jujur tubuh akan merespon dengan cepat karena hati dan otak tidak sinkron. Bagaimana syaraf-syaraf dalam otak akan kacau karena tingkah laku tidak jujur ini. Bisa dibayangkan jika aksi tidak jujur ini terus dilakukan, maka buahnya bisa jadi terlihat yang terjadi dikalangan tokoh pejabat yang terkena korupsi masa kini.
SKTM ini menurut saya bisa menjadi bahan penelitian. Bahkan mungkin ini menjadi bahan penelitian yang mahal di eropa dengan kasus SKTM. Bayangan saya, entah itu lembaga atau pemerintah bisa meneliti SKTM, darimana nilai dasar ketidakjujuran ini berawal. Ayo kitamulai, niat tidak jujur ini bisa dilihat dari orang tua yang meminta surat SKTM. Ya, ini berarti orang tua yang melakukan permintaan surat sakti itu harus diteliti. Kenapa dia melakukan itu, apakah karena gen keluarganya atau karena orang tuanya atau leluhurnya yang mengajarkan itu. Kemudian diteliti lagi sejarahnya, lingkungannya hingga pendapatan ekonominya dari mana. Kalo perlu diteliti juga bentuk muka, dan tahi lalatnya. Tentu jelas tahi lalat saya yang mirip Rano Karno ini bukan tipe itu.
Mungkin juga diteliti sumber ekonomi yang didapat oknum tersebut karena rejeki yang tidak berkah maka uang yang didapatnya itu juga akan membuat keputusan yang tidak berkah yaitu sampai meminta surat sakti. Ini menandakan bahwa aksi ketidakjujuran ini dilakukan di tingkat personal atau keluarga. Karena jelas, orang tua yang melakukan aksi ini secara otomatis mengajarkan anaknya untuk berlaku tidak jujur.
Bahan penelitian selanjutnya adalah pemberi SKTM, mulai dari Ketua RT atau RW serta lurah atau pemerintah daerah. Bisa diteliti alasan pemberi kuasa surat sakti ini, motif dan modusnya seperti apa. Terpikirkan tidak ya jika ada hukum yang mengatur pemalsuan surat bisa dipidana dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat. Walaupun sebenaranya saya tidak ingin menggunakan hukum, namun pemberi surat ini bisa jadi bahan penelitian sendiri. Ini jelas jangkauannya lebih luas dari penelitian orang tua yang meminta surat sakti. Jika ada peneliti yang menggarap proyek ini bisa mendapatkan fee yang bagus dan royalti yang menarik saat penelitiannya digunakan di jurnal ilmiah.
Jika kita terbang keatas lagi dan melihat kebawah ada kemungkinan aksi ketidakjujuran ini karena aturan dari pemerintah pusat. Sepertinya kita perlu meminta kementrian yang mengurus bidang ini untuk memberikan jawaban kejujuran dari aturan yang berlaku. Jika memang dari atas atau pemerintahan pusat ingin mengajarkan kejujuran hingga tingkat masyarakat, mungkin perlu dilihat lagi tahap-tahap yang disiapkan sebelum banyak terjadi aksi ketidakjujuran. Jika pemerintah belum siap berarti aturan tersebut harus disiapkan lebih matang agar nilai kejujuran yang ada di tingkat masyarakat selalu terjaga. Agar kejujuran ini tidaklah mahal di jaman masa kini.
Jika memang aturan dari pemerintah pusat ini belum memunculkan kejujuran maka aturan ini belum sholeh. Sehingga aturan itu perlu di sholehkan terlebih dahulu sebelum ketidakjujuran ini merajalela di negeri seribu kopi ini. Ngopi dulu. (BY)
Bayu

Jadilah Broadcaster Sebenarnya !

Previous article

Sleman Punya Simpul Jaringan Daerah dan Aplikasi Geoportal

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai