Esai

GPS Aja

0
GPS Aja
gps jadi alat penunjang mencari lokasi

STARJOGJA.COM, ESAI – Berawal dari tahun-tahun dahulu, saat saya belum lama berkenalan dengan teknologi baru. Sudah lupa tahun berapa itu, namun moment nya tak pernah hilang dalam perjalan waktu. Dimulai dari rasa penasaran, akhirnya memancing semangat untuk mencicipi. Apalagi masih dalam suasana hepi, dengan mainan baru berteknologi tinggi.

Mengendarai sepeda motor sambil membagi konsentrasi, antara melihat ke arah jalan dan sesekali berhenti untuk mencermati layar ponsel memang bukan perkara yang gampang dan menyenangkan. Mungkin justru ribet. Ini semua demi mencoba menjadi orang yang melek teknologi. GPS sebenarnya memang bukan mainan baru. Namun dulu, selain perangkatnya mahal, prosedurnya juga tidak simpel. Setelah gadget berbasis android menjamur, GPS menjadi layanan yang disenangi, termasuk saya.

Jadi, siang hari itu saya harus mencari alamat di sebuah desa di daerah Sukoharjo, tempat perajin souvenir. Saya pikir, informasi serta gambar foto yang terlihat dari internet cukup unik dan menarik. Karena belum familiar dengan kota dan daerahnya, saya coba gunakan bantuan GPS yang ada di HP untuk langsung menuju tempatnya. Matahari masih memancar, namun sudah mulai bergerak menuju barat. Menyesal juga tadi tidak mengajak seseorang untuk membonceng. Lebih enak jika dua orang berboncengan. Orang diboncengan bisa langsung melihat HP dan mengarahkan jalan sebagai navigator.

Walau agak ribet dan sering berhenti, misi tetap dilanjutkan. Melalui GPS, kecamatan dan desa sudah ketemu. Namun dimana titik alamat yang pasti, itulah persoalannya. Sebenarnya yang dituju bukan di daerah pelosok atau pinggiran. Sepertinya ini tadi juga belum begitu jauh dari pusat kota. Namun saya seperti dibingungkan dengan jalan, arah, dan petanya. Mungkin karena saya yang masih “lugu” dalam membaca peta GPS. Atau bisa jadi data di GPS yang belum komplit.

BACA JUGA :

Jam Dinding GPS dari Dunia Ajaib Harry Potter

Hmm…jadi ingat sebulan sebelumnya, saat saya dan saudara bertujuan mengunjungi ke sebuah alamat di Semarang. Petunjuk di GPS awalnya gampang, namun kemudian menjadi membingungkan. Kamipun akhirnya terjebak di jalan sempit sebuah kampung padat penduduk. Dan celakanya lagi, saat itu kami mengendarai mobil rental berbadan besar.

Berlanjut lagi menceritakan bagaimana perjuangan mencari alamat. Sepertinya sore sudah hampir tiba. Sayapun masih tetap kekeh perpedoman pada GPS dan yakin dengan kemampuan saya dalam membaca peta. Di depan tampak sebuah pertigaan. Satu jalan beraspal dan sisanya masih cor dan tampak lebih sempit jalannya. Sayapun memilih jalan beraspal. Namun baru beberapa waktu jadi ragu, karena jalan seperti menurun dan terus turun.

Sepeda motor berhenti menepi sambil berteduh. Setelah berulang kali melihat peta GPS, akhirnya memutuskan memutar kembali. Saya merasa lelah, haus, dan lapar jadi satu. Ditambah lagi kesal karena tidak kunjung mmenemukan alamat. Kalau sudah begini, mendadak ingin rasanya bertemu si Dora, yang konon katanya sangat ahli dalam membaca peta.

Langit kali ini tidak lagi cerah dan panas. Mendung makin jelas tampak warnanya. Sore juga kelamaan makin menunjukkan jati dirinya. Lengkaplah sudah ! Gas sepeda motor kali ini tidak sepelan waktu pertama datang. Ini gara-gara antara takut terjebak hujan, dan ingin segera pulang. Garis batas langit di depan, sudah bertambah gelap kalabu. Hidung mulai mendapati fakta baru. Bau tanah basah yang terbawa angin. Fakta ini jelas, menambah dramatis perjalanan sore itu.

Kendaraan berhenti tepat di depan rumah yang nampak teduh nan asri. Maksud hati ingin bertanya sebagai tanda menyerah, dan sekalian bersiap memakai kostum musim hujan. Di depan rumah, kebetulan ada seorang Bapak yang sepertinya baru saja membawa masuk beberapa baju dan kain yang tadi dijemur.

Setelah turun dan memberikan salam, kutanyakan tentang alamat pengrajin souvenir yang cukup menjadi masalah di hari itu. Si Bapak tidak langsung menjawab. Melainkan sambil tersenyum ramah, justru menawarkan untuk berteduh di teras rumahnya terlebih dulu, dengan alasan gerimis sudah mulai turun. Si Bapak juga menyuruh memasukkan sepeda motorku ke halaman rumah tepat dibawah pohon. Wow..sopan dan baik sekali Bapak ini.

Sambil memberikan petunjuk tentang alamat, Si Bapak juga mempersilahkan duduk dengan aba-aba tangannya. Menurut si Bapak, saya salah belok. Saya harus kembali lagi. Intinya, masih harus melanjutkan sekitar dua kilo dari rumah si Bapak. Ketika saya mengucapkan terima kasih sambil berdiri, si Bapak bersikeras menahan saya untuk berteduh. Menurutnya, akan lebih baik jika saya menunggu hujan benar-benar turun dahulu, sambil duduk istirahat di teras rumahnya. Diapun menunjuk langit warna abu-abu kental menggelantung ke arah alamat yang sedianya akan aku tuju. Sedikit ragu, namun akhirnya ku-setujui tawaran si Bapak.

Perkenalan kamipun dimulai dengan obrolan standart. Bapak adalah penduduk asli, sehingga dirinya tahu betul alamat yang aku cari. Bahkan dengan pemiliknya-pun dirinya mengaku kenal karena masih saudara jauh dari sang istri. Dipertengahan kami berbincang, si Bapak mohon izin sebentar kedalam, dan kira-kira sepuluh menit kemudian telah kembali lagi. Dari cerita si Bapak pula, akhirnya saya tahu bahwa bangunan di samping rumahnya adalah warung kopi yang buka sore hingga malam, milik sang menantu. Sekilas, terlihat seperti rumah biasa jika belum buka seperti sore itu.

Hujan akhirnya turun. Tidak deras namun cukup serius. Tiba-tiba seseorang datang dari sebelah rumah, sambil membawa nampan berisi dua gelas teh panas. Si Bapak berpesan pada yang baru saja datang, untuk kembali lagi dengan menyebutkan nama makanan. Girang betul rasanya hati ini, ketika makanan yang disebut muncul tidak lama kemudian, dan tampak seperti baru saja digoreng. Bau harum teh panas dan gorengan muncul disaat yang tepat. Disaat perut belum terisi dan saat hujan belum berhenti. Kenikmatan dari bentuk kolaborasi ini seakan tak terbantahkan. Betul juga kata orang, bahagia itu bisa sangat sederhana.

Perbincangan sore itu semakin hangat, gayeng dan terdengar santer. Se-santer tangan saya menyambar gorengan panas untuk yang kesekian kalinya. Kami berbincang tentang apa saja, mengalir dengan enaknya. Seakan tak percaya, bahwa kami sebenarnya baru saja pertama kali berjumpa. Waktupun terus bergerak. Walau hujan petang akhirnya sudah mulai jarang, namun suasana yang terlanjur nyaman ini serasa urung untuk segera dibuang. Entah kenapa, justru ada harapan agar hujan semoga tak kunjung hilang.

Akhirnya hujan selesai dengan sisakan aroma lembab. Langit yang semakin gelap, dan warung kopi sebelah yang tidak lagi senyap, menjadi akhir dari interaksi dua generasi yang semakin akrab. Setelah pamit dan berterima kasih, sayapun pergi.

Rencana untuk mengunjungi alamat jelas saya batalkan. Toh besok atau besoknya lagi masih bisa. Saya jadi senyum sambil merenung diatas motor. Untung saya tadi tidak terlalu ngotot tetap memakai GPS mencari alamat. Untung saya memutuskan untuk kembali, dan mencoba bertanya kepada penduduk setempat. Pada akhirnya, sayapun tetap bisa menemukan petunjuk alamat dengan sangat jelas. Tak hanya itu, cerita dibalik sejarah usaha souvenir, karakter pemilik, dan seluk beluk orangnyapun saya dapatkan secara lengkap. Dan ini tidak bisa didapat jika hanya mengandalkan sebuah alat. Melainkan dari bincang antar dua orang layaknya sahabat.

Jadi ingat pelajaran sekolah dulu. Aristoteles, filsuf dari yunani menyatakan, manusia adalah ZOON POLITICON. Penjelasannya kurang lebih: pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang ingin selalu bergaul dengan berkumpul dengan manusia. Manusia tidak mungkin hidup sendiri dalam memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain, karena memang manusia diciptakan Tuhan untuk saling berinteraksi.

Mau gimana lagi, secara alami kita memang butuh berbicara, dan ber-sosialisasi. Tak bisa disangkal, berbicara langsung dengan seseorang yang hadir secara nyata didepannya, lebih terasa hidup. Itulah kodrat kita. Terbukti tadi, selain mendapat petunjuk alamat dari bapak yang baik hati, ada rasa hangat dan akrab yang menyertai layaknya bersilahturahmi. Begitu juga saat saling cerita dan berbagi informasi. Itu sensasi yang tidak bisa ditemui pada perangkat se-canggih apapun. Sebuah rasa yang ternyata memberikan dampak luar biasa. Jauh dari sekedar merasakan keberhasilan mencari sebuah alamat. Bagaimanapun juga, kita tetap masih butuh seseorang. Tak hanya tempat bertanya, namun berbagi cerita.

Saya pulang dengan rasa senang, dan sedikit haru. Bertekad akan menikmati rasa yang masih ada, sebelum segera hilang menjadi sisa. Mungkin, sore itu saya gagal berkunjung ke sebuah alamat dan tertunda bertemu dengan pemilik kerajinan souvenir. Namun saya telah menemukan sesuatu yang lain. Sesuatu yang bagi orang-orang tertentu, mulai jarang dipraktekkan dan dirasakan dijaman ini. Dan tidak salah juga, semua tetap berkat bentuan GPS. Gorengan Panas Sore hari.

REP : SATRIA AGNI

iBoxing Week Tawarkan Experience Baru Pengguna Apple

Previous article

Tim Pemeriksa Bangunan UGM Periksa Kondisi Rumah Sakit Pasca Gempa di Lombok

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai