JogjaKUUniknya Jogja

Rebo Pungkasan Kembul Dhahar Sewu Dulur

0

STARJOGJA, KULONPROGO . Tradisi Kembul Sewu Dulu Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan merupakan tradisi turun-temurun yang dilaksanakan di Bendung Kayangan di Dusun Turus, Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Bendung ini menjadi pertemuan kedua sungai yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Bendungan in bernama Kayangan karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada Bukit atau Gunung Kayangan. Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan setiap hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar bersamaan dengan tradisi merti Bendung Kayangan yang lebih dikenal dengan nama Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan.
Konon Mbah Bei Kayangan adalah seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Oleh warga setempat Mbah Bei juga dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan.

Dalam pelariannya ini Mbah Bei beristirahat sekaligus bertapa di pertemuan Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan. Dalam pertapaannya Mbah Bei Kayangan mendapat wangsit agar membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan dan ladang di daerah itu. Mbah Bei juga mendapat inisiatif untuk membangun bendungan secara manual khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasokan air selama musim kemarau yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitar bendungan yang dibuatnya. Pembuatan bendungan ini juga membawa kemakmuran bagi banyak orang yang tinggal di sekitar Bendungan Kayangan, khusunya pertanian.

Upacara tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini biasanya dimulai dengan kirab kelompok kesenian, pembawa sesaji dan kenduri, tamu undangan, dan masyarakat umum.Para peserta kirab secara bersama menuju ke lokasi bendungan dan berkumpul di pinggir sungai, kemudian kelompok-kelompok kesenian melakukan pentas seni di hadapan para tamu dan masyarakat umum.
Kesenian tradisional yang dipentaskan di kompleks bendungan ini umumnya adalah kuda lumping atau jatilan. Sesudah berpentas babak pertama mereka akan memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai/bendungan tersebut (Ngguyang Jaran). Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping, diyakini bahwa jika kuda-kuda lumping mereka dimandikan di bendungan tersebut maka grup atau kelompok kuda lumping mereka akan mendapatkan banyak tanggapan, laku atau laris. Kepercayaan ini sudah ada sejak zaman Mbah Bei Kayangan masih hidup. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka akan berpentas lagi.

Keunikan dari upacara ini adalah menyajikan hidangan khas rakyat seperti nasi liwet, ingkung ayam, dan sayur gudangan, juga tersedia dua menu yang tidak bakal dijumpai di hari-hari biasa yakni bothok lele dan panggang mas (telur ceplok tanpa garam). Bothok Lele dan Panggang Emas adalah hidangan wajib dalam kenduri Saparan ini. Dua jenis lauk tersebut tidak dibumbui dengan gula maupun garam sehingga terasa tawar. Kedua hidangan itu adalah menu favorit Mbah Bei Kayangan semasa hidupnya. Warga khusus memasak dua hidangan itu hanya untuk acara spesial saja.(SUMBER : http://dinpar.kulonprogokab.go.id)

Vertigo ? Lakukan 3 Langkah ini !

Previous article

504.206 wisatawan Serbu Sleman Saat Lebaran

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in JogjaKU