Esai

Srawung Digital, Antara Berbakti dan Kekininian

0
lembaga pengawas data pribadi
penggunaan smartphone (star)

STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Mamahmu ki ora duwe akun Instagram. Wah, payah.”

Baru seminggu yang lalu Ayah menertawakan Ibu saya yang memang ga terlalu tertarik dengan Sosial Media kekinian, sehingga momen digital ter-update beliau adalah memiliki grup Whatsapp bersama rekan-rekannya semasa SMA.

Nampaknya kata-kata Bapak itu tampaknya begitu membekas (atau mungkin merasa terhina?), sehingga 3 hari kemudian, saat berkunjung ke rumah orang tua, saya kemudian direweli Ibu yang minta dibuatkan akun Instagram *blaik tenan. Bapak? Ya mrenges saja tentunya.

Kemudian saya mulai berpikir, kalau toh nantinya beliau memiliki akun sosial media, apa yang kira-kira akan diupload disana? Bayangan saya kok ga jauh-jauh dari foto-foto para cucu yang jumlahnya 4 biji itu. Lalu, pastinya foto-foto jadul wajib tampil.

Merindukan Generasi Cerdas Digital

Tidak, sekali lagi saya tidak mengatakan bahwa konten yang dimiliki oleh para sesepuh itu ga menarik, tapi gini deh, kalau alasannya adalah supaya kenangan bisa terdokumentasikan, eksistensi, silaturahim dan silaturahmi tetap terjalin, saya kok jadi tertohok juga. Apa iya alasannya begitu?

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat mengantarkan anak ke sebuah tempat les. Nah, jeda di saat menunggu anak les ini saya anggap adalah salah satu momen bebas bagi pengantar atau orang tua untuk melakukan aktifitas. Hak asasi masing masing pribadi, apakah waktu itu hendak dipakai tidur, baca atau srawung *bergaul.

Namun, srawung di era sosial media seperti saat ini, tentu tidak bisa disamakan dengan srawung beberapa tahun lalu, sebelum gencarnya smartphone yang dijejali segala aplikasi pergaulan mengalihkan jemari dan mata penggunanya sampai ke tahap akut. Jaman now, srawungnya ya srawung digital.

Dulu, ketika anak sudah masuk ruang les, hampir tidak mungkin para pengantarnya akan melewatkan sesi ngobrol ngalor ngidul tentang banyak hal dengan pengantar lain.

Bukan semata obrolan kosong, bahkan dari hal itu, tidak jarang akan muncul peluang bisnis yang cukup menjanjikan. Oke lah, kalaupun tidak ada peluang bisnis, toh menambah teman kan bukan hal yang merugikan?

Namun sekarang, tidak bergaul di dunia nyata pun, tampaknya tidak masalah. Tidak ada ketakutan yang besar.

Anak masuk ke tempat les, pengantar duduk, mengeluarkan smartphone atau gadgetnya, tinggal pilih icon aplikasi apa yang ingin dilihat, dan Voila!, senyum senyum simpul pun segera mengembang disaat muncul notifikasi atau post tentang hal-hal lucu dan menarik.

Senyum pun rasanya tak hendak surut dari wajah saat post kita mendapatkan respon yang mengalir lancar. Siang bolong, terik matahari dan rasa kantuk terlupakan seketika. Makin lancar pula kita mengetukkan jemari untuk membalas komen. 

Bahkan waktu kemudian menjadi bergulir sangat cepat hingga anak akhirnya sudah selesai dengan les di sore hari itu.

Tapi dibalik itu tadi, tampaknya kita harus menerima kenyataan bahwa apabila dulu orang bisa menilai dari penampilan, perilaku atau bahkan cara bicara, sekarang kita harus siap dinilai dari pilihan sosial media.

Seperti ibu-ibu disebelah saya kala itu. Dia membuka akun digital Facebook sambil tertawa malu-malu karena mungkin ada respons dari sahabat virtualnya.

Boleh ga kalo saya bilang, ibu ini tradisional? *kabur sebelum dilempar tas dan juga bekal minum anaknya.

Bagaimana tidak? Disaat serbuan Sosial Media begitu gencar, Ibu tadi memilih berinteraksi melalui Facebook yang menurut data (( https://inet.detik.com/cyberlife/d-4051254/facebook-kalah-populer-dari-instagram-dan-youtube )) penggunanya sudah mulai merosot secara signifikan

Kembali ke kasus Ibu saya, pada akhirnya timbul pertanyaan. Apakah beliau akan merasa happy ketika nantinya foto-foto yang diupload kemudian dikomentari dan berlanjut saling berbalas kata? Atau sebaliknya, akan biasa saja dan merasa ribet akibat konsentrasi terbagi antara melakukan aktifitas hariannya dengan rasa ga enak karena merasa punya “kewajiban” untuk membalas komentar-komentar?

Jadi, apa alasan anda srawung digital?

 

Catatan dari Penulis : Ibu tetap belum punya akun Instagram =))

Sebagai anak, saya merasa cukup berbakti karena Ibu tidak akan kerepotan membalas komentar ataupun matanya lelah akibat kebanyakan melihat gadget

Bayu

Prestasi SMPN 4 Pandak Buat Herawati Mbrebes Mili

Previous article

Anggota DPRD ‘Nyaleg’ Pindah Partai Diberhentikan Antar Waktu

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai