Esai

Kerja Bakti, Tak Sekedar Agar Terlihat Kerja

0
kerja bakti
kerja bakti

STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Selepas Magrib, angkringan Pak Yatmo biasanya mulai rame. Betul juga, sudah ada beberapa orang menikmati sajian yang telah dipesan. Syukurlah, masih ada tempat untuk duduk. Saya duduk tidak jauh dari tiga buah ceret yang masih mengeluarkan uap panas. Bara api dibawah ceret yang ditempatkan dalam anglo, sedikit membuat hawa menjadi anget.

Malam itu, rupanya pembicaraan di angkringan Pak Yatmo juga tak kalah anget. Pak Ijan salah satunya, yang sedang membawa kertas undangan, semangat berorasi.

“Dapat undangan kerja bakti di kampung, paling juga sedikit yang datang. Makanya kalau saya, dari pada mengundang untuk ngumpul kerja bakti, mending bikin surat edaran yang isinya menghimbau supaya warga membersihkan di sekitar rumahnya sendiri-sendiri! Nanti lak yo hasilnya sama juga. RW jadi bersih, got dan sampah ya bersih,” kata Ijan pengunjung angkringan malam itu.

Bersamaan dengan itu, teh jahe panas pesanan saya sudah jadi dan segera saya sruput pelan-pelan. Warto, yang duduk disebelah saya sambil ngemil kacang langsung menimpali ujaran Pak Ijan.

“Kalau membersihkan rumahnya sendiri-sendiri, sama seperti kebiasaan sehari-hari dong! Ngga ada bedanya nanti. Kerja bakti itu kan selain kerjane, yo supaya srawung antar warga kog yo!,” katanya.

“Lha khan tiap hari sudah srawung di grup Wasap to? Trus arep ngopo meneh. Semua sudah pada kenal dan akrab. Di grup W.A malah gayeng tur guyub je ! Informasi terkini sekaligus gosip baru, juga bisa disimak di grup WA! Kalau ketemu dan ngumpul trus mau ngapain lagi he he, sing arep dibahas wis entek,” balas Ijan.

Pengunjung lainnya, Om Yan, si pemilik bengkel motor ikutan nimbrung sambil tersenyum.

“Di kompleks perumahan mamiku, kebanyakan pada sibuk kerja, bisnis, serta bukan orang kantoran. Kalau pas minggu atau hari libur ya pada ndak isa ngumpul meski ada undangane. Sama aja dengan pemuda dan pemudine. Mereka juga mbantu mama papah-e kerja nek pas liburan. Paling ya nek dipeksa cuman satu jam maksimal. Habis itu harus pergi ndek toko, opo ndek tempat jualane,” katanya.

Topik bahasan sepertinya tambah seru. Semakin betah saja saya mendengar celoteh pengunjung angkringan malam itu. Supaya tambah nikmat, jadah bakar kemudian saya pilih menjadi orderan kedua melengkapi teh jahe panas.

Pak Yatmo pemilik angkringan, yang sedari tadi hanya menjadi pendengar, sambil meratakan bara api di anglo ikutan nimbrung.

“Kalau tidak kliru, adanya kerja bakti itu dulunya dilakukan jika ada kerjaan yang memang kondisinya harus dikerjakan secara bersama. Baik itu yang hubungan-nya sama gawean fisik milik lingkungan warga atau milik pribadi. Hal itu juga dikarenakan selain masalah dana, juga belum adanya alat bantu yang memadai. Warganya juga masih bisa ngumpul semua di kampung hampir tiap harinya. Jadi, semisal ada kerjaan bersihkan got, mbangun cakruk, hingga bangun rumah pribadi atau punya gawe mantu dll, masih bisa guyup,” katanya.

“Kalau sekarang beda. Jujur saja, di kampung sayapun sudah tidak seperti dulu. Sudah banyak warga kerja di kota dan hidup merantau di kota. Jaman sekarang juga banyak alat-alat modern yang sudah terjangkau dibeli warga. Kalaupun butuh tenaga, juga tidak butuh sebanyak dulu. Belum lagi, sekarang ini jasa tukang apa saja banyak tersedia di kota, dan bahkan mau dipanggil ke desa. Sekarang, ya paling ronda harian itu kerja baktinya,” lanjutnya.

Ijan, yang tadi sempat terdiam pun tergoda untuk menyahut omongan Pak Yatmo.

“Lha niku leres Pak. Ronda itu memang masih bisa disebut kerja bakti kog! Sebetulnya, kerja bakti itu kan intinya gotong royong. Berkegiatan bersama-sama untuk tujuan tertentu dan secara tulus ikhlas berdasar kesadaran. Artinya, tidak masalah apapun kegiatannya. Kerja bakti dilakukan tidak semata-mata hanya menyambut hari besar atau adanya acara tertentu. Kerja bakti diadakan, jika memang ada yang harus dikerjakan dan diselesaikan. Lha, kalau tidak ada yang akan dikerjakan, yo ndak usah !,” timpal Ijan.

Mas Rudi yang tadi barusan bergabung dan belum lama duduk ikutan menyahut.

“Kalau ditempatku trus piye? Keamanan dan masalah sampah mbayar orang per bulan. Selain itu ada sedulurnya petugas ronda, bisa jadi tukang serabutan di kompleks dan siap dipanggil kapanpun untuk bantu apapun jika ada keluarga yang butuh. Trus kerja baktine kapan ki nek ngene hayo he he,” kata Rudi penasaran dengan jawaban pengunjung angkringan lain.

“Ya mungkin kerja baktine pakai HP tadi itu mas,” kekeh Amin si tukang parkir yang di ikuti pula dengan tawa beberapa pengunjung angkringan lainnya.

Masih menikmati pesanan jadah bakar dan teh, sayapun diam-diam mencermati dalam-dalam isi obrolan. Kali ini Om Yan giliran angkat bicara.

“Tapi bener kog, mungkin tergantung tempat dan jamannya. Sebagai tempat huni, sekarang sudah banyak orang tinggal di perkotaan dan hunian di perumahan. Jadi, karena jaman sudah beda, maka pengertian kerja bakti tidak isa nek harus sama. Bahkan, aplikasi nyata dari kerja bakti juga berbeda –beda. Seperti ndek perumahan mamah ku ya gitu. Karena kesibukannya, akhirnya warga ya mbayar orang,” katanya.

“Tapi itu semua misih didasari dengan rasa dan tujuan yang sama. Semua sadar ingin daerahnya bersih dan aman demi kepentingan bersama. Artine, rasa kepedulian tetap ada dan tetap dengan cara disonggo bareng-bareng, ya walau dengan tenaga berbayar. Kalau masalah srawung warga, biasane malah diacarakan bareng-bareng tapi tidak terlau sering, dan berbarengan dengan hari tertentu sambil piknik keluar. Setidaknya, sebenarnya masih ada juga upaya dari warga untuk tetep pingin srawung dan akrab ,” kata Om Yan.

Tak mau kalah, Mas Rudi giliran menyambung kata-kata Om Yan.

“Oh iya ding mas, saya jadi inget. Diperumahanku itu, walau sepertine jarang ngumpul-ngumpul, tapi pas kalau ada tetangga yang butuh bantuan, tetep reaksinya cepat je mas. Dulu ada yang sakit butuh dibawa ke RS, tiba-tiba semua saling kasih berita lewat WA Grup. Kapan itu ada juga yang mau melahirkan juga disebarkan beritanya trus bisa diantar sama yang punya mobil. Trus anak tetangga, karena telat dijemput ortunya pas pulang sekolah, si anak nekat pulang sendiri tapi ternyata tidak sampai-sampai rumah,” kata Rudi.

“Beberapa wargapun spontan ikut bantuin cari dan akhirnya ketemu. Belum lagi nek ada yang kesripahan. Walau pakai jasa tukang, tapi itu warga yang telpon sana-sini. Ternyata empati dan kepedulian warga masih ada. Padahal tidak semua asli dari kota sini. Tapi, rasa kepedulian mereka ditengah-tengah kesibukan sendiri-sendiri masih tetap ada. Apa itu bisa diartikan semacam panggilan hati nurani yang jadi dasar kerja bakti itu sendiri, yang sebenarnya belum hilang meski bentuk nya beda ?,” timpalnya.

Pak Yatmo, si penjual angkringan, sambil mengelap gelas yang sudah selesai dicuci tiba-tiba menyambung dengan suara yang dalam.

“Njih sejatine, kerja bakti niku, dijaman sekarang pun belum hilang menurut saya. Mungkin jumlah orang yang terlibat tidak seperti kerja bakti dahulu atau yang biasa dilihat di desa-desa. Bentuk kerjanya juga tidak harus seperti membangun ini itu atau bersihkan ini itu. Kalau saya, kog justru semangat berbakti dan kepedulian-nya itu yang penting. Bakti yang tulus ikhlas, melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama, atau untuk orang lain. Itu yang harus tetep ada. Niki pendapat kulo lho, njih maaf nek kulo kliru he he he,” kata Yatmo mengakhiri perbincangan yang sering terjadi di warungnya.

REP : SATRIA AGNI

Bayu

Pahlawan Baru Republik Indonesia Di HUT RI

Previous article

Tips Lari Ala Pegiat Komunitas Lari Riot Jogja

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai