Esai

Balada Sekolah Dokter di Negeri Seribu Pulau

0
Menkes Terawan
Keterangan foto: Kiri-Kanan: Tim Pemeriksa Kesehatan Capres dan Cawapres: Sekretaris Jenderal PB IDI- Dr. Moh. Adib Khumaidi Sp.OT (kiri), Direktur RSPAD Gatot Subroto - Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto, SpRad, Ketua Umum PB IDI - Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis Sp.OG(K), Wakil Ketua Umum IDI -Dr. Daeng M Faqih, SH MH, dan Ketua Tim pelaksana Penilaian Kemampuan Jasmani dan Rohani - Dr Astronias Bakti Awusi, SpPK, MKes

STARJOGJA.COM, OPINI – Berita penangkapan calo yang menjanjikan seseorang agar diterima di Fakultas kedokteran menyita perhatian seorang teman. Ia pun ternganga dengan jumlah kerugian yang mencapai ratusan juta rupiah.

Di lain waktu, saya mendapat cerita dari teman yang lain. Ia merasa menjadi sebuah korban dari pendidikan dokter yang tidak tuntas.

Bagaimana tidak ? saat memeriksakan anaknya di sebuah rumah sakit di Jogja, ia bertemu seorang dokter muda yang dalam menuliskan resepnya masih membuka sebuah buku panduan daftar indikasi penyakit dan apa obatnya.

Baca Juga : OPINI : Dewasalah Pemain ke-12!

Karena merasa tidak yakin, ia pun memutuskan membuang obat yang sudah ditebusnya kemudian pindah rumah sakit lain.

Di tengah perkembangan dunia medis yang semakin pesat, masyarakat saat ini mendambakan pelayanan kesehatan prima dan memuaskan. Kemampuan profesionalitas dokter baik teknis, komunikasi, hubungan personal dan etika tentu dituntut semakin baik juga mumpuni.

Jangan lagi ada dokter yang terlihat kebingungan saat ditanyai pasiennya atau bahkan menjadikan pasiennya sebagai kelinci percobaan.

Masyarakat Indonesia semakin pintar dan kritis akan pelayanan kesehatan yang diharapkannya. Ini tentu menjadi tanggung jawab dokter untuk bisa memberikan apa yang diinginkan masyarakat atas pelayanan kesehatan.

Maka, kualitas seorang dokter sangatlah penting dan menjadi tuntutan saat ini.  Tidak saja kemampuan profesionalnya, tetapi juga semua yang mendukung profesinya sebagai pelayan masyarakat di bidang kesehatan.

Tapi di sisi lain, terdengar pula cerita betapa mahalnya biaya pendidikan untuk menjadi seorang dokter saat ini. Seorang calon mahasiswa kedokteran baik negeri maupun swasta mesti mempersiapkan biaya tidak kurang dari 100 juta rupiah, itu diluar SPP dan biaya-biaya lainnya ( laboratorium, buku-buku, kegiatan dll ).

Belum lagi bila akan melanjutkan ke tingkatan dokter spesialis, dimana biaya pun lebih menggila lagi, bisa mencapai milyaran rupiah. Sehingga bisa jadi pendidikan dokter sudah menjadi sebuah komoditi.

Seringkali terjadi seorang anak lulusan SMA yang pandai dan berkualitas  ingin menjadi dokter. Dari segi niat ia mulia karena dia jadi dokter ingin menolong sesama.

Tapi apa daya karena orang tua mereka hanya kaum proletar, bukan kaum borjuis, orang tua mereka hanya Pegawai Negeri Sipil golongan III bukan eselon, orang tua mereka cleaning service rumah sakit bukan direktur rumah sakit.

Mereka harus menyerah pada takdir cita-citanya gugur di tengah jalan lantaran orang tuanya tak mampu membayar biayanya!

Maka tidaklah mustahil bila Fakultas Kedokteran yang ada saat ini dipenuhi oleh mereka yang berkantong tebal, meski tidak pandai. Merekalah yang nantinya menunggu waktu untuk menjadi seorang dokter.

Semakin banyak animo masyarakat yang masuk sekolah kedokteran dan terbatasnya kursi, maka jika kita lihat menurut prinsip ekonomi akan menguntungkan pihak penyelenggara pendidikan, dan bisa memasang tarif se-fantastis mungkin!

Saya kadang berfikir “Apa sih yang membuat masuk sekolah kedokteran itu mahal ? ”  Jika saya amati dan bahkan merasakan sendiri sistem pendidikan kedokteran di lapangan, secara umum tidak berbeda dengan kuliah-kuliah pada jurusan lain.

Dosen mengajar di depan mahasiswa, dan mahasiswa mendengarkan di depan dosen, ditambah praktikum, praktek kerja lapangan dan lain sebagainya.

Di sinilah falsafah jawa ada filosofi “Bibit, Bobot, Bebet,” menjadi hal menarik. Apabila bibit yang masuk sudah tidak berkualitas / tidak berbobot atau hanya modal kemampuan financial yang ok maka apalah yang diharapkan nanti dari lulusannya..?

Oleh karena itu, jangan biarkan Pendidikan kedokteran tercemari dengan adanya kongkalikong yang memanfaatkan nafsu besar orang tua untuk menjadikan anaknya seorang dokter.

Tentu kita berharap agar nantinya tercipta tenaga dokter yang betul-betul berkualitas, betul-betul berhati mulia ingin menolong sesama, tanpa dipengaruhi oleh pemikiran bisnis, “return of investment’ ( balik modal ).

Pendidikan kedokteran adalah pendidikan yang sangat krusial karena berhubungan langsung dengan nyawa manusia.

Kualitas pendidikan kedokteran menjadi harga yang tidak bisa ditawar untuk menghasilkan kualitas preofesi bermutu. Kita sebagai manusia tentu ingin diri dan keluarga kita ditangani oleh seorang dokter kompeten dan profesional ketika sedang sakit atau dalam keadaan terancam nyawa.

Bayu

Truk Berisi Pakan Ternak dan 10 Penumpang Kecelakaan, 4 Orang Tewas

Previous article

Mencicipi Mie Mama Dillah Palangka Raya

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai