EsaiFeature

Menanti Narasi Cerdas Pendukung Militan

0
Narasi cerdas

STARJOGJA.COM, Esai – Hampir dua minggu pasca debat capres yang kedua, publik masih disuguhkan aneka content saling serang antara kedua pendukung pasangan calon presiden di pemilu 2019.  Saling serang antara kedua tim pasangan dan pendukung militan calon presiden masih mewarnai di media sosial atau media massa pasca debat. Narasinya dipastikan sama. Mereka menganggap calon yang didukung adalah yang paling benar dan juga menganggap lawannya salah dan tidak lah pantas memimpin. Narasi cerdas sangat menentukan pendukung militan yang pintar.

Adu argumen untuk saling menjatuhkan memang hal yang normal dalam mewarnai dua bulan terakhir ini menjelang pemilihan umum. Para tim sukses beradu tagar, beradu data, dan beradu kata-kata untuk memengaruhi masyarakat calon pemilih. Wira wiri informasi ini pun muncul di media mainstream dan juga media sosial. Publik pun terbelah jadi tiga, ada yang pro pada dua pasangan dan ada pula yang di tengah alias tidak mau memilih. Disini narasi cerdas sangat dibutuhkan.

Sayang, jarang kita temui atau bahkan tidak ada narasi saling memuji. Seolah lawan selalu salah dan yang didukung selalu benar. Narasi lawan selalu salah dan kawan selalu benar ini yang membuat sikap saling serang tidak produktif dan cenderung tidak mendidik masyarakat. Penghormatan kepada pasangan yang maju pun menjadi sebuah angan-angan semata. Jauh dari adanya keinginan pemilu adalah sebuah proses mendidik masyarakat dengan segala kegembirannya.

Baca Juga : Kecamatan AMPUH Tangkal Hoax dan Politik Uang

Masyarakat malah tidak dididik karena apa yang mereka konsumsi adalah narasi yang sama. “Tokoh saya adalah yang paling benar “. Narasi yang dikonsumsi masyarakat hanya lawan yang salah dan kawan yang benar. Seolah terjadi pengultusan calon yang diusung sehingga muncul narasi seperti di atas. Parahnya lagi, ketika ingin selalu membenarkan calonnya dan menyalahkan lawannya membuat informasi yang disampaikan jauh dari kebenaran atau bahkan hoaks.

Tanpa disadari karena emosi hati yang tinggi, karena memuja dan membenci berlebihan, maka informasi yang disampaikan sekadar memuji dan menjatuhkan. Militansi pada calon bahkan menjadikan mereka lupa akan nurani dan juga sulit membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Masyarakat hanya disuguhi hal-hal yang tidak produktif.

Apesnya, yang menampilkan itu adalah kelompok masyarakat terdidik seperti politikus, pejabat, atau bahkan pemuka agama. Dengan media yang ada dan cepat seperti media sosial di internet seolah para kelompok terdidik ini mempunyai arena yang nyaman serta cepat untuk menyerang. Media sosial memang bisa menjadi pisau bermata dua.

Kondisi ini diperparah dengan adanya media massa yang bermain menjadi pendukung atau hanya sekedar meneruskan apa yang tengah jadi kehebohan. Dengan alasan mengajar rating, tak jarang mereka malah ikut nimbrung dan membesarkan kondisi yang kurang kondusif menjadi sebuah sajian yang makin membikin perpecahan.

Sangat disayangkan kelompok terdidik di atas yang menjadi patron masyarakat umum justru menjadi bagian dari narasi saling serang. Semestinya mereka ini mempunyai kepintaran hati untuk menyikapi kondisi bangsa ini, bukan malah menjadi corong dan garda depan untuk menjatuhkan lawan dan melindungi siapa yang membayar mereka. Kelompok terdidik ini yang notabene mempunyai kecerdasan otak cukup baik semestinya merenung atau bahkan belajar tentang kecerdasan hati. Hanya dengan kecerdasan hati maka narasi kawan selalu benar dan lawan selalu salah akan berkurang atau bahkan hilang.

Sudah waktunya masyarakat kita diberikan narasi yang cerdas dan produktif sehingga ke depan mereka bisa menjadikan pesta demokrasi dengan kecerdasan dan juga kegembiraan. Menciptakan pemilu cerdas bukan sekadar dengan otak yang cerdas, namun juga dibutuhkan kecerdasan hati. Biarkan publik memilih berdasarkan hati,bukan karena dengki !

Dibutuhkan kedewasaan dalam bersikap dan berucap agar kecerdasan otak yang ada pada kelompok terdidik tidak sia-sia. Pendewasaan demokrasi bangsa ini harus sudah bisa dinikmati. Apa arti reformasi jika pada akhirnya demokrasi ini malah mati karena masyarakat tak punya nurani.

Bayu

CEO Arema FC Siapkan Bonus Untuk Timnas U-22

Previous article

LLDIKTI DIY Usulkan Tiga PTS Yogya Ditutup

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai