NewsPendidikan

Percakapan Golput di Medsos dan Media Online Terkonsentrasi di Jawa

0
golput pemilu
Peneliti Laboratorium Big Data Analytics DPP Fisipol UGM, Arya Budi ( FOTO : Humas UGM)

STARJOGJA.COM. SLEMAN – percakapan golput di media sosial dan media online terkonsentrasi di Jawa. Ini berdasar catatan dari Data Laboratorium Big Data Analytics, Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM.

Hasil tersebut diperoleh melalui analisis percakapan di media sosial twitter dan pemberitaan di 276 media online. Analisis big data menggunakan metode application programming interface twitter dilakukan dari 27 Januari hingga 19 Februari 2019.

“Dari pemetaan isu golput berdasarkan sebaran geografis cenderung bersifat Jawa sentris,” ungkap Peneliti Laboratorium Big Data Analytics DPP Fisipol UGM, Arya Budi, dalam keterangan tertulisnya kepada Starjogja.com.

Memaparkan hasil analisis terkait peta potensi golput 2019, Arya menyampaikan bahwa pembicaraan golput banyak ditemukan di Jawa Barat (21.60%), DKI Jakarta (14,94%), dan Jawa Timur (14,645). Ketiga provinsi tersebut menjadi daerah dengan percakapan isu golput terbanyak dibandingkan dengan daerah lain.

Lebih lanjut Arya menyebutkan perbincangan isu golput menjadi semakin massif karena dipicu oleh akun-akun berpengaruh dengan banyak follower. Selain itu, massifnya isu golput di media sosial terjadi karena adanya momentum politik seperti debat calon presiden pada 17 Februari 2019.

” 9,5 % percakapan yang ditujukan untuk mengkampanyekan golput. Artinya, 1 dari 10 percakapan tentang golput adalah percakapan untuk mengkampanyekan golput,” jelasnya.

Sementara ajakan untuk untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu paling banyak ditemukan di DKI Jakarta sebanyak 20 percakapan. Selanjutnya diikuti Jawa Barat 17 percakapan, dan Jawa Tengah 12 percakapan. Disisi lain, terdapat akun yang dibuat khusus untuk berkampanye golput.

Sementara Peneliti DPP Fisipol UGM lainnya, Wawan Mas’udi menjelaskan potensi golput terjadi karena sejumlah faktor seperti adanya ketidakpuasan terhadap incumbent, tetapi oposisi dipandang tidak layak. Selain itu golput juga sebagai ekspresi protest voting dan tidak ada sistem compulsory voting.

Faktor lain adalah sistem politik atau rejim dipandang tidak legitimate, memberikan suara hanya akan memberi legitimasi pada sistem yang ada. Sementara sistem yang ada tidak bisa menjamin fairness sehingga golput ini menjadi bentuk perlawanan.

Wawan menuturkan bahwa golput menjadi ancaman terhadap demokrasi. Pilihan untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu akan memberikan dampak delegitimasi demokrasi di Indonesia.

“Kalau situasi golput dibiarkan maka suara ketidakpercayaan demokrasi akan semakin kuat dan mengalami penggerusan demokrasi. Karenanya semua hal yang bisa memperkuat legitimasi, termasuk partisipasi yang tinggi sangat dibutuhkan,” pungkasnya.

WNA Wajib Miliki KTP-el, Tapi Tak Bisa Ikut Pemilu

Previous article

Data Kependudukan Sangat Berguna Bagi Pelayanan Publik

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in News