Esai

Sudahi Fanatisme Buta Itu !

0
Perempuan bawa anjing ke Masjid
Logo-Twitter-dan-Facebook-media-jejaring-sosial-utama-dunia-Weblopedi.net

STARJOGJA.COM.OPINI – Pilpres 2019 kini sudah usai. Banyak pihak pun berharap keriuhan yang muncul seiring fanatisme itu pun usai dengan sendirinya. Namun, ternyata tak semudah itu. Gelaran pemilu serentak utamanya pilpres masih meninggalkan sebuah bekas nonfisik dan cukup mencolok, yaitu suasana panas kampanye di sosial media maupun kehidupan nyata yang tak kunjung reda.

Momentum sekelas lebaran yang seharusnya bisa menjadi ajang rekonsilasi, malah menjadi ajang adu sensasi, fanatisme buta seolah sudah menjadi skill yang wajib dimiliki setiap simpatisan. Salah satu penyebab yang cukup menonjol adalah masifnya penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye masing-masing tim capres-cawapres.

Mengapa demikian ?

Dikutip dari Media Indonesia, dalam laporan berjudul Essential Insights Into Internet, Social Media, Mobile, and e-Commerce Use Around the World (2017) yang dirilis We Are Social, sebuah perusahaan riset media yang berbasis di Inggris menyatakan bahwa, pengguna medsos di Indonesia saat ini mencapai 132 juta jiwa.

Dari angka itu, sebagian besar memanfaatkan Youtube, Facebook, Whatsapp, Instagram, dan Twitter. Dalam sehari, setiap orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 3 jam 20 menit untuk mengakses medsos. Maka dari itu, penggunaan medsos pun dipandang sangat efektif dalam mendulang suara, karena konten medsos sangatlah mudah dilihat dan diakses oleh semua kalangan.

Akibatnya obrolan politik bukan lagi barang mewah milik elite parpol, pemerintah, akademisi, dan mahasiswa. Public sphere yang digagas Juergen Habermas, kondisi dimana semua orang dapat saling bertukar argumen, dan gagasan politik menjadi ‘going digital’ , semua kalangan dapat mengikuti perbincangan, dari kalangan emak-emak bahkan anak-anak. Namun, ruang diskusi digital tak seperti ruang publik sungguhan, ruang publik dunia maya tidak mudah untuk dikontrol. Fiksi dan fakta bercampur tanpa sebuah kejelasan, antara argumen dan sentimen.

Alih-alih mencerdaskan, dan mengedukasi masyarakat sehingga lebih sadar politik, kampanye digital lewat medsos pada prakteknya, seringkali tidak memperhatikan keakuratan data, bahkan fakta pendukung kontennya pun diragukan. Pada akhirnya konten yang disebarkan hanyalah saling menjatuhkan antar kubu, kemudian menggiring masyarakat kepada fanatisme politik.

Munculnya fanatisme politik memang merupakan fenomena yang wajar dalam sebuah kontestasi politik. Hampir dalam setiap ajang kontestasi politik dan dalam kontestasi bidang yang lain, selalu memunculkan fanatisme dari masyarakat. Namun apa yang terjadi di Indonesia sudah bukan fanatisme biasa, melainkan menjerumus kepada fanatisme buta yang cenderung melahirkan pandangan yang sempit dan tidak melihat secara obyektif terhadap kelebihan lawan.

Fanatisme buta juga menyebabkan perubahan sikap dan pola pikir sosial-masyarakat, khususnya Indonesia yang pada umumnya terbuka dan menjunjung tinggi musyawarah, menjadi tertutup dan susah untuk menerima kritik dan saran, menganggap bahwa calon yang diusungnya adalah yang paling layak bahkan harus menang, menebarkan rasa takut yang berlebihan, overthingking beranggapan bahwa hal sangat buruk akan terjadi apabila calon yang diusungnya kalah.

Masing-masing mendambakan calonnya menang, mereka sulit menerima kenyataan bahwa dalam kompetisi bisa saja calon yang didukungnya kalah, kerap mengandalkan kata “pokoknya”, pokoknya capres dan cawapres pilihannya yang harus menang. Bahkan bisa saja apapun cara yang ditempuh yang penting calonnya menang, seperti dengan menebar berita hoax, yang penting konten yang disebar mengunggulkan paslon yang didukung, dan menjatuhkan paslon yang tidak didukung. (Winarno, 2019)

Memang tidak mudah untuk mengontrol pendukung yang fanatik. Tim kampanye masing-masing pasangan capres dan cawapres sering dibikin kalang kabut akibat ulah para simpatisan fanatik yang aksinya seringkali diluar intruksi tim kampanye. Militansi para relawan fanatik sering menunjukkan loyalitas tanpa memperhatikan batas. Tidak jarang pendukung fanatik, terutama anak-anak muda yang lebih menonjolkan emosi ketimbang adu literasi.

Fanatisme buta di Indonesia juga telah menciptakan sebuah jurang sosial, sebut saja Cebong – Kampret, Cebong untuk pendukung Jokowi dan Kampret untuk Prabowo. Kebanyakan dari Cebong-Kampret “garis keras”  biasanya adalah mereka yang “memahami” politik namun dengan perspektif kubu mereka masing-masing. Bukan dengan argumen, melainkan sentimen, mereka sangat gaduh tak hanya di dunia nyata, namun di media sosial.

Diantara mereka tidak jarang saling serang dengan membicarakan, memposting sisi-sisi negatif dan kelemahan lawan. Fanatisme politik yang didemonstrasikan dua kubu ini seringkali tidak didasari pada literasi, kecerdasan, informasi, dan pengetahuan politik yang memadai, bahkan dalam beberapa kesempatan penulis tak jarang mendapati konten-konten yang berlandaskan “cocoklogi” demi menjatuhkan kubu lawannya di media sosial.

Tak jarang para pendukung calon tertentu ini ketakutan kalau pasangan yang didukungnya kalah, hingga mereka perlu mendukungnya mati-matian, namun seringkali tanpa memandang batasan adat-istiadat bahkan undang-undang, sebagai contoh penulis seringkali menemukan postingan video & foto di sebuah akun Instagram relawan yang menyebutkan bahwa suatu saat hal buruk akan terjadi apabila calon yang didukung tidak memperoleh kemenangan, penindasan, kekerasan, bahkan pembubaran Negara yang dasar teorinya berlandaskan “cocoklogi”.

Fanatisme buta dalam beberapa kasus bahkan sudah merembet hingga petinggi negara, akademisi, bahkan pejabat negara. Sebut saja di dalam sebuah acara forum diskusi di stasiun televisi swasta, para akademisi seakan-akan melepaskan semua gelar yang tersemat di pundaknya, dengan tak membiarkan kubu lawannya mengkritik pendapatnya, begitupun sebaliknya. Sensitifitas semakin hari semakin menjadi, semakin mudah tersulut layaknya masyarakat sumbu pendek yang tak berpendidikan, apapun pendapat dan saran adalah salah, selama itu dilayangkan oleh kubu lawannya.

Bagaimanapun yang banyak dilakukan oleh para simpatisan fanatik merupakan cara mereka dalam menunjukkan kecintaan dan loyalitas mereka pada idolanya, namun hendaknya menggunakan cara yang lebih edukatif agar demokrasi ini menjadi lebih sehat. Jangan sampai demokrasi menjadi democrazy, gila dan tak beradab.

Perlu diketahui, Pilpres adalah kegiatan biasa yang diselenggarakan per lima tahunan, bukan perang saudara per lima tahunan, ajang unjuk gigi pasangan politik terbaik di Indonesia, bukan ajang menyebarkan aib. Pemilu, terkhusus ini esensisnya adalah kontestasi mencari pemimpin negeri. Maka dari itu, masyarakat Indonesia, terutama para pendukung pasangan capres cawapres hendaknya memandang kontestasi politik ini dengan lebih santai.

Fanatisme buta para masing-masing pendukung seharusnya dibuang jauh-jauh sehingga mampu melihat dengan obyektif dan mampu bermuhasabah diri serta menghargai siapapun dan bagaimanapun lawan politiknya. Pemerintah harus lebih giat dalam mengedukasi masyarakat baik sebelum dan sesudah Pemilu diselenggarakan, serta mengontrol hiruk-pikuk aktifitas politik terutama penyebaran konten kampanye di media sosial, sehingga didapat iklim politik yang baik, aman, damai, dan tenteram.

Sudahi Fanatisme Buta Itu !

Pencairan Dana Kelurahan Harus Melibatkan Warga

Previous article

Selama Ramadhan, Inflasi DIY Terkendali

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai