News

Alasan Banyak Peneliti Indonesia Memilih Karier di Luar Negeri

0
parasetamol bervirus
ilustrasi - Dokter patologi klinik memeriksa sampel media pembawa virus Corona untuk penelitian di Laboratorium Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya di Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (6/2/2020). - ANTARA FOTO/Umarul Faruq

STARJOGJA,COM, Info – Sumber daya manusia Indonesia sangat dan berkualitas dunia terutama peneliti. Namun ternyata banyak peneliti Indonesia yang justru memilih jalan karier atau penelitian di luar negeri.

Indri Juwita Asmara, Peneliti Kebijakan IPTEK dan Inovasi LIPI mengatakan pada beberapa literatur ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi terjadinya intellectual migration antara lain, pendapatan yang lebih tinggi diperoleh di luar negeri, lebih banyak kesempatan kerja, kondisi kerja yang lebih baik, standar hidup yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik serta fasilitas R&D yang lebih mendukung di luar negeri.

Indri sendiri bersama tim pernah melakukan penelitian mengenai saintis diaspora. Dari penelitian tersebut ditemukan adanya dua faktor utama yang mempengaruhi fenomena tersebut.

Baca juga : Penelitian Terbaru, Sinar Matahari Matikan Virus Corona 8 Kali Lipat

Antara lain daya tarik (kenyamanan, kualitas hidup yang lebih baik, dan fasilitas yang mendukung aktivitas riset) dan kesempatan untuk menjadi saintis diaspora di luar negeri terbuka melalui kompetisi global yang berdasarkan pada prestasi kerja.

Kedua, pandangan terhadap keadaaan di Indonesia yang turut memengaruhi keputusan saintis diaspora untuk berkerja di luar negeri seperti rasa khawatir, kekecewaan pada sistem, birokrasi panjang dan berbelit, serta perasaan kurang dihargai oleh negara sendiri.

“Sebanyak 60% saintis diaspora menyetujui bahwa rasa kurang dihargai membuat saintis memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Ketersediaan bidang ilmu yang diinginkan, kelengkapan keperluan riset, ilmu yang lebih luas dalam bidang yang diinginkan, serta pendanaan riset merupakan cerminan fasilitas yang tersedia di luar negeri,” ujarnya.

Pada umumnya negara tujuan saintis adalah negara maju dengan tingkat pendanaan riset yang tinggi dan dibutuhkan langsung oleh industri, seperti Amerika, Inggris, Jerman, Jepang, Australia dan Singapura.

“Walaupun ada beberapa faktor pendorong yang kuat untuk bekerja di luar negeri, tetapi keinginan untuk kembali ke Indonesia sebetulnya tetap ada,” ujarnya.

Ada beberapa hal yang menurutnya masih menjadi pekerjaan rumah bersama yakni bagaimana pemerintah melalui lembaga litbang, perguruan tinggi, dan swasta (terutama industri) mampu menciptakan ekosistem riset dan inovasi yang baik.

Misalnya dengan kebijakan yang lebih baik dan diikuti komitmen berkelanjutan untuk meningkatkan peran saintis diaspora Indonesia sehingga dapat menjadi bagian dalam pembangunan.

Lebih lanjut Indri mengatakan bahwa fenomena yang terjadi saat ini sebetulnya bukan sekadar kehilangan atau mendapatkan kembali tetapi bagaimana agar talenta terbaik Indonesia ini tetap dapat berkontribusi dimanapun berada, fenomena ini disebut dengan Brain Circulation.

Hal ini yang terjadi dengan keterlibatan engineer dari Cina dan India di Sillicon Valey, Amerika Serikat (29% bisnis teknologi di Sillicon Valley dijalankan oleh engineer dari Cina dan India).

Di India intellectual migration berkontribusi pada reputasi Bangalore sebagai ” Sillicon valley nya India” dan pengembangan Nanocity.

Taiwan yang mendirikan Hsinchu science industrial park di Taipei, sebagai pusat pengembangan teknologi tinggi seperti industri semikonduktor, komputer, telekomunikasi, dan optoelektronik, telah beroperasi di industrial park itu.

Sebagian besar perusahaan ini didirikan oleh Tionghoa Taiwan yang berpendidikan dan bekerja di Sektor IT di AS dan negara maju lainnya.

“Dari sini kita bisa melihat bahwa konsep “brain drain” dimana intellectual migration hanya menguntungkan satu negara saja dengan mengorbankan negara asal tidak lagi relevan dan tergantikan oleh konsep Brain Circulation yang menguntungkan kedua belah pihak negara asal maupun negara host,” tuturnya.

Di sinilah dia melihat bahwa keberadaan saintis diaspora di luar negeri dapat berperan sebagai anchor/agen yang membuka jalan dalam perkembangan iptek dan inovasi di Indonesia. Misalnya melalui pertukaran mahasiswa/saintis, mahasiswa PhD dan post doc, visiting professor dan kolaborasi riset hingga pengembangan startup.

“Hal ini lah yang dapat memberi ruang bagi pemerintah dan swasta di dalam negeri untuk dapat meningkatkan peran diaspora di dalam negeri,” tutupnya.

Sumber : Bisnis.com

Bayu

Kolaborasi Interprofesional Perkuat Layanan Kesehatan Primer Perlu Ditingkatkan

Previous article

Penambahan Kasus Sembuh di Yogyakarta Capai 1.335 Kasus

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in News