HealthLifestyle

Penyakit Hirschsprung Sering Ditemukan Pada Bayi Baru Lahir

0
Hirschsprung

STARJOGJA.COM, Info – Prof. dr. Gunadi, Ph.D., Sp.BA., Subsp.D.A.(K)., dalam pidato pengukuhannya dalam jabatan Guru Besar Bidang Bedah Anak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan menyatakan tentang pentingnya penanganan penyakit Hirschsprung (HSCR). Penyakit ini menjadi penyumbang signifikan angka kematian bayi baru lahir dan anak berusia di bawah lima tahun yang menyebabkan gangguan buang air besar pada bayi.

Salah satu gejala yang biasa ditemukan pada bayi dengan HSCR antara lain tidak bisa buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir. Sementara pada balita gejala yang muncul antara lain sembelit menahun, perut menggembung, serta terdapat gangguan pada pertumbuhan.

“Hirschsprung ini paling sering ditemukan pada bayi baru lahir dengan insidensi global diperkirakan 1:5.000 kelahiran hidup dan lebih sering ditemukan pada laki-laki. Namun, menariknya insidensi Hirschsprung di Indonesia lebih tinggi dibanding populasi lain yaitu 1:3.250 kelahiran hidup,” paparnya, di Balai Senat UGM Kamis (14/9) .

Gunadi memperkirakan kondisi tersebut terjadi berhubungan dengan frekuensi common variants RET rs2435357 dan rs2506030 pada populasi kontrol di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan populasi lain.

Dari penelitian yang dilakukannya diketahui sebagian besar penderita HSCR di Indonesia masuk dalam klasifikasi short segment dimana segmen aganglion tidak melebihi kolon sigmoid (80%). Lalu dari data di Yogyakarta menunjukkan frekuensi HSCR yang disertai dengan sindrom down sebesar 12 persen dan hanya dijumpai satu kasus familial dari 67 kasus.

Lebih lanjut Gunadi menjelaskan bahwa HSCR merupakan penyakit genetik. Sejumlah bukti menunjukkan hal tersebut, salah satunya angka kesintasan pasien HSCR menjadi lebih tinggi setelah ditemukan teknik pull through tahun 1984 sehingga tercipta kondisi untuk menemukan adanya transmisi HSCR familial. Tak hanya itu, bukti lain mencatat adanya peningkatan risiko pada saudara pasien untuk menderita HSCR dibandingkan populasi umum. Lalu, adanya rasio HSCR yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan serta adanya hubungan  HSCR dengan penyakit genetik lain seperti sindrom malformasi atau anomali kromosom.

Konsep kompleksitas genetik pada HSCR disebutkan pria kelahiran Banyuwangi, 19 November 1979 ini bisa dipahami dengan mempelajari kejadian molekuler dan seluler selama perkembangan enteric nervous system (ENS) saat embriogenesis. Setidaknya hingga saat ini ada 35 gen yang berhubungan dengan patogenesis HSCR.

“HSCR merupakan penyakit genetik kompleks yang bisa menimbulkan komplikasi Hirschsprung associated enterocolitis (HAEC) yang bersifat fatal. Dengan data stratifikasi risiko berbasis genomik, kedokteran presisi sebagai manajemen HSCR bisa terwujud. Dengan begitu, kesadaran orang tua pasien terhadap risiko HSCR menjadi lebih baik, HSCR pun bisa di diagnosis dan terapi lebih awal, serta terhindar dari komplikasi fatal,” urainya.

Sumber : Humas UGM

Baca juga : Penyakit Komplikasi Degeneratif Bisa Muncul di Usia Ini

Bayu

Jung Hae-in Cerita Perjalanan Karirnya di Indonesia

Previous article

HUT Ke-78, PMI DIY Kampanyekan Aksi Cerdas Iklim

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Health