News

Hukuman Mati bagi Koruptor Saat Bencana Covid-19

0
Juliari P Batubara
Menteri Sosial Juliari P. Batubara tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari WIB. Juliari ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial./Antara - Hafidz Mubarak

STARJOGJA.COM, Info – Profesor Hibnu Nugroho pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, menilai ancaman hukuman mati merupakan peringatan bagi koruptor penanganan bencana seperti Covid-19.

“Saya kira untuk hukuman mati itu sebagai ‘warning’ dan secara yuridis memang sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” katanya di Purwokerto, Senin (7/12/2020).

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.

“Saya kira kita sepakat, kita bukan lihat suapnya ya, tapi melihat korupsi dalam masa pandemi. Apalagi, yang dilakukan adalah (korupsi terhadap) bantuan untuk mencegah pandemi,” katanya.

Tuntut Pidana Mati

Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku penegak hukum harus selangkah seperti yang disampaikan selama ini, yakni melakukan penuntutan terhadap kasus dugaan korupsi tersebut dengan pidana mati.

 Walaupun nantinya kasus dugaan korupsi tersebut tidak terbukti di pengadilan, KPK harus melakukan dakwaan dengan pidana mati sebagai bentuk komitmen terhadap pemberantasan korupsi.

Baca Juga : Solusi, Mengubah Penyaluran Dana Bansos Jadi Cash Transfer

“Diputusnya nanti terserah hakim, tapi sebagai komitmen, sebagai bentuk ‘warning’ kepada masyarakat untuk tidak melakukan korupsi, harus dituntut dengan pidana mati,” katanya menegaskan.

Hibnu menjelaskan, dalam teori ada 30 jenis korupsi, dan jika diringkas kembali ada tujuh kelompok tindak pidana korupsi.

Akan tetapi, dalam kasus korupsi bansos Covid-19, kata dia, harus melihat tindak pidana korupsi dalam arti luas.

“Jangan melihat suapnya. Suapnya boleh (dilihat), tapi suapnya ini suap dalam era pandemi. Perdebatannya kemarin kan ini hanya suap. Oke, kalau suap bukan dalam era pandemi enggak apa-apa, tapi suap ini dalam masa pandemi,” jelasnya.

Apresiasi Jokowi

Hibnu menyebut, penegak hukum harus konsisten terhadap undang-undang yang dapat menuntut pidana mati.

“Apalagi dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan oleh pejabat negara. Itu sebagai faktor pemberat. Makanya, ini sebagai ujian bagi penegak hukum, ujian bagi pemerintah, berani atau tidak,” tuturnya.

Hibnu mengatakan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap dua orang menteri dalam satu bulan terakhir merupakan tindakan biasa.

“Kita melihatnya kan subjek orang, siapa pun, kebetulan ini yang terlihat adalah menteri karena hukum itu bisa kecil, bisa besar. Kemarin kalau kita lihat dalam paparan Ketua KPK kan ada 400-an izin OTT, sehingga harus dilihat langkah tepat yang dilakukan KPK pada pucuk-pucuk sebagai penyelenggara negara.”

Dengan demikian, kata dia, ketika menteri tersebut kena OTT, akan memberikan peringatan (warning) kepada pelaku yang akan berpotensi di tingkat bawahnya.

“Yang tingkat besar, menteri saja bisa dipegang, apalagi yang setingkat gubernur, kepala dinas, atau yang lain. Ini yang saya kira suatu cara pencegahan yang cukup bagus karena bagaimanapun juga yang namanya penindakan berselaras dengan pencegahan yang akan dilakukan di kemudian hari,” katanya.

Hibnu juga mengapresiasi pernyataan Presiden Joko Widodo yang tidak akan melindungi menteri-menterinya yang tersangkut dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi.

Menurut dia, jika Presiden melindungi menterinya dapat berarti menghalangi proses hukum.

“Tidak ada istilah perlindungan di era sekarang ini. Pasal 21 UU KPK sudah mengancam terhadap penghalangan pemeriksaan ataupun menghilangkan barang bukti. Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi pernyataan Presiden dan saya kira itu sebagai salah satu komitmen Presiden untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, apalagi di era pandemi,” katanya.

Bansos Rp6,84 Triliun

Seperti diwartakan, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai tersangka korupsi bansos pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek 2020.

Empat orang lainnya juga menjadi tersangka yakni Matheus Joko Santoso (pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial), Adi Wahyono (pejabat pembuat komitmen Kementerian Sosial), Ardian IM (swasta) dan Harry Sidabuke (swasta).

Ardian dan Harry menjadi tersangka pemberi suap, sedangkan Juliari, Matheus dan Adi menjadi penerima suap.

Anggaran untuk bansos Jabodetabek sebesar Rp6,84 triliun dan telah terealisasi Rp5,65 triliun (82,59 persen) berdasarkan data 4 November 2020.

Sebelumnya, KPK juga telah menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait perizinan tambak, usaha dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.

Sumber : Antara

Bayu

6 Orang Tewas Diduga dari Kelompok FPI

Previous article

Peneliti Uji Coba Rumput Laut Jadi Obat Covid-19

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in News