Esai

Rasa Takut dan Keinginan Menghilang Seketika

0
perempuan rentan kekerasan
kekerasan anak dan perempuan (JIBI)

STARJOGJA.COM, Yogyakarta – Rasa takut yang membuat seolah ingin menghilang bisa datang kapan saja. Seperti saat sore itu di sudut kafe di kota Jogja, saya dan seorang kawan sedang bercengkrama tentang apa saja. Tentang hidup, tentang hari-hari yang baru saja kami lalui, tentang misteri masa depan yang selalu menghantui, tentang kejadian-kejadian yang sedang kami hadapi.

Sangking asiknya, kami tidak sadar hari sudah menuju malam. Waktu itu hampir jam delapan ketika Band mempersiapkan diri. Memang setiap malam ada Live Music di café ini. Entah apa yang kami bicarakan waktu itu, tapi obrolan kami otomatis berhenti karena live music sudah mulai.

Kami (terutama saya) selalu menyukai musik, apalagi Live Music. Karena menurut saya, somehow lagu yang dinyanyikan secara live itu lebih “ngena” ketimbang kita mendengarkan rekaman.

Baca Juga : Sang Puteri, Mimpi, dan Besarnya Hati

Selain itu, live music selalu membuat saya berkhayal bahwa sayalah yang bernyanyi di panggung dan diiringi band tersebut. Kenapa berkhayal? Ya karena ketika berkhayal saya bisa jadi sesuka saya, dan selain itu saya punya satu ketakutan.

Tidak, saya bukan cuma punya satu ketakutan tapi banyak. Tetapi salah satu ketakutan terbesar saya adalah menjadi pusat perhatian. Mungkin bagi orang lain, itu hal yang biasa saja atau bahkan hal menyenangkan. Tapi bagi saya, ditatap oleh banyak mata itu menakutkan. Membuat saya amat sangat tidak nyaman.

Kembali ke live music. Kebetulan lagu-lagu yang dinyanyikan pada live music tersebut kebanyakan adalah lagu yang cukup familiar di telinga saya. Sehingga saya otomatis akan ikut bergumam mengikuti nyanyian sang vokalis.

Sampai suatu waktu ketika sebuah lagu selesai dinyanyikan, sang vokalis bilang, “Mbak, sini ikut ke depan nyanyi bareng.” Seketika saya terkejut, dan cuma tersenyum saja karena tidak punya punya nyali. Padahal sebenarnya saya pengen sekali kedepan, paling tidak biar tahu rasanya tampil di depan banyak orang.

Di sela saya kembali menata detak jantung saya yang tadi sempat tidak terkontrol, kawan saya nyeletuk, “Mbak coba deh sana kamu nyanyi di depan.” Saya cuma senyum saja. Entah kawan saya itu tahu atau tidak tentang ketakutan saya, tapi dalam hati saya membenarkan kata-kata dia. Iya juga ya, kenapa saya tidak coba saja? Toh saya nggak akan rugi. Toh mereka nggak kenal siapa saya.

Toh saya justru beruntung karena saya jadi tahu rasanya jadi pusat perhatian orang. Kemudian saya bicara kepada diri saya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja, sambil saya berjanji pada diri saya kalau sang vokalis panggil saya lagi, saya benar-benar akan maju dan ikut jamming bersama band di kafe itu.

Benar saja, saya dipanggil lagi. Lalu saya mencoba memenuhi janji saya kepada diri saya sendiri. Saya berjalan kedepan dengan kaki tangan gemetar. Entah orang lain notice atau tidak, tapi saya sangat grogi.

Rasanya saat itu ingin menghilang dan tak terlihat untuk sementara. Karena bahkan ternyata setelah saya selesai menyanyi dan saya menghampiri teman saya lagi, teman saya sama sekali tidak menyadari kalau saya grogi setengah mati.

Padahal buat saya, bahkan setelah mundur dari panggung, bahkan sisa-sisa takut dan gemetar itu masih ada. Tapi diiringi dengan perasaan lega yang luar biasa. Saya baru menyadari, hari itu adalah pertama kali saya membiarkan rasa takut itu berjalan beriringan dengan saya, bukan saya menghindarinya, tidak juga saya lakukan dengan terpaksa.
Kalau ada orang bertanya kenapa yang saya pilih adalah bernyanyi, pertama karena saya suka. Kedua, karena dalam bernyanyi sudah ada aturan patennya.

Kamu bernyanyi mengikuti alunan musik sesuai dengan kunci yang lirik dan kalimatnya sudah pasti. Orang yang familiar dengan lagunya pasti ikut bergumam bahkan bernyanyi. Tak aka nada yang sakit hatinya kalau-kalau saya salah bicara. Hehe

Saya jadi ingat beberapa tahun lalu saya mencoba berkenalan dengan rasa takut saya akan ketinggian. Menaiki bukit sebelum akhirnya naik wahana flying fox dan dan berjalan melewati jembatan tali yang terdapat jurang di bawahnya. Rasanya sama, menegangkan, menakutkan, tapi pada akhirnya lega luar biasa. Meski begitu, sampai sekarangpun saya masih takut dengan ketinggian.

Kembali ke ketakutan yang baru saja saya lewati, saya lega. Saya bahagia meski ketakutan itu sampai sekarang masih bersarang dan hidup bersama diri saya. Setidaknya saya sudah berkenalan dengan dia, mencoba berteman dengan dia, membuat dia nyaman dan semoga suatu saat dia bisa menjadi kawan yang menyenangkan.

Karena saya pikir, jika saya benci dan coba hilangkan hal yang saya takuti, bukankah itu termasuk sebuah pemaksaan yang membuat diri saya justru semakin tidak nyaman?. Dan apabila saya abaikan, itu hanya akan membuat saya terpaku pada zona nyaman yang itu-itu saja dan saya tidak akan menemukan hal lain yang saya punya di diri saya.

Bagi saya, mencoba berkenalan dan berteman dengan rasa takut itu lebih nyaman. Somehow, saya jadi tahu apa value lain dari diri kita yang sebelumnya saya tidak pernah sadari. Selain itu, berteman dengan rasa takut adalah wujud penerimaan dan cinta saya kepada diri sendiri. Karena kalau bukan kita yang menerima diri sendiri secara utuh, lantas siapa lagi? Just my own thought.

 

Bayu

600 Peserta Berlari untuk Berbagi di Run to Give 2018

Previous article

Film Aruna & Lidahnya Bukan Rangga dan Cinta

Next article

You may also like

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More in Esai